Catatan Kepala: ”Pemimpin yang handal sanggup menanggalkan kekuatan jabatannya, lalu memimpin dengan mengedepankan karakter pribadinya.”
Lucu
juga ya kalau mendengar orang yang mengerutu tentang atasannya. Dulu
saya sering mendengarnya di toilet atau di lorong bawah tangga tempat
orang-orang merokok. Sekarang, kita bisa menyimaknya lewat facebook,
twitter, atau milist. Nyata sekali jika banyak orang yang dihargai hanya
karena mereka memiliki posisi lebih tinggi. Jika Anda mempunyai posisi
tinggi, maka perlulah juga untuk bertanya pada diri sendiri; apakah
orang-orang yang Anda pimpin benar-benar menghargai ‘diri Anda’ atau
‘posisi Anda’? Apakah itu penting? Kalau bagi saya itu penting. Bagi
Anda? Silakan tentukan sendiri.
Alhamdulillah,
saya pernah mendapatkan kesempatan untuk berperan sebagai pemimpin
dalam beberapa tingkatan. Selain di kantor, juga sebagai Ketua RT.
Ternyata, peran yang paling menantang adalah menjalankan amanah sebagai
Ketua RT itu. Di kantor, semuanya jelas, dan setiap orang yang saya
pimpin memahami makna hirarki. Sebagai pemimpin di kantor saya memiliki
kewenangan yang mengikat setiap orang dalam team. Sedangkan sebagai
Ketua RT? Boleh dibilang, kita memimpin dengan ‘tangan kosong’. Sekarang
saya sudah tidak lagi menjadi Ketua RT. Namun, justru dari pengalaman
itulah saya menyadari hal ini; “Kalau Anda ingin belajar tentang kepemimpinan yang sesungguhnya, maka jadilah ketua RT.”
Jika Anda bisa sukses menjadi Ketua RT, maka Anda bisa sukses memimpin
team Anda di kantor, di lembaga kenegaraan, atau dikomunitas manapun.
Mengapa? Karena ketika Anda menjadi Ketua RT, Anda hanya bisa
mengandalkan karakter diri Anda sendiri. Jika dengan ‘tangan kosong’ itu
saja Anda bisa memimpin dengan baik, maka apalah lagi seandainya Anda
punya otoritas dan kewenangan seperti yang didapatkan oleh para pemimpin
formal, bukan? Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar memimpin
dengan karakter pribadi, saya ajak memulainya dengan memahami 5 sudut
pandang Natural Intelligence berikut ini:
1. Belajar memimpin sebelum menjadi pemimpin.
Ini adalah pelajaran yang sangat mendasar sekali. Banyak orang yang
merasa dirinya bukan pemimpin hanya gara-gara mereka belum memiliki anak
buah. Makanya, kebanyakan anak buah tidak memperlihatkan kemampuannya
dalam memimpin. Padahal, justru ketika belum menjadi pemimpin itulah
kita harus belajar menjadi pemimpin. Anda harus belajar menerbangkan
pesawat sebelum menjadi pilot; bukan sesudahnya. Ini yang sering tidak
disadari orang. Makanya, nunggu aja sampai nanti jadi pemimpin. Kalau
masa itu datang. Kalau tidak? Seumur hidup bakal jadi follower terus.
Kalau ternyata ada ‘nasib mujur’ kita menjadi pemimpin, ya cuma bakal
jadi pemimpin yang bingung dan jadi bulan-bulanan bawahan. Sebelum Anda
punya anak buah adalah saat yang tepat untuk belajar memimpin. Caranya?
Sederhana saja; tampil menjadi pribadi yang penuh inisiatif, berperilaku
positif, dan proaktif dalam setiap aktivitas di team Anda. Teman-teman
selevel Anda itu adalah ‘media’ bagi Anda untuk belajar memimpin orang
lain. Jika dapat tugas dari atasan, pastikan hasil punya Anda lebih
cepat, lebih tepat, dan lebih akurat. Jika teman Anda kesulitan, bantu
mereka menyelesaikannya. Jika teman Anda tidak kompak bangun kebersamaan
diantara mereka. Sekarang, Anda sudah belajar menjadi pemimpin bagi
mereka. Padahal, Anda bukan atasannya, kan?
2. Belajar memimpin tanpa otoritas.
Saya serius mengatakan ini; belajarlah memimpin tanpa otoritas. Semua
terori kepemimpinan yang Anda pelajari mengajarkan bahwa tidak ada
kepemimpinan tanpa otoritas. Setidaknya, begitulah system nilai yang
kita dapatkan selama ini. Hari ini, saya mengatakan kepada Anda untuk
belajar memimpin tanpa otoritas. Mana bisa? Bisa. Percayalah; kita sudah
terlalu lama terkungkung oleh paradigm kepemimpinan structural yang
formal. Padahal seperti namanya, kempemimpinan formal sering hanya bisa
menghasilkan formalitas saja. “Ya.., gue formalitas aja minta tanda
tangannya. Dia kan managernya. Yang ngerti seluk beluknya sih bukan
dia…” sounds familiar? Atau, ada orang yang menggerutu ketika
mendapatkan tugas dari atasannya. Jadi, bagaimana caranya untuk memimpin
tanpa otoritas itu? Sederhana juga; Anda ‘mengirimi’ orang-orang yang
memiliki otoritas itu dengan ide-ide brilian Anda. Dengan masukan dan
gagasan yang berkualitas tinggi. Jika Anda berhasil, maka orang yang
punya otoritas itu akan menerima dan menggunakan ide Anda. Lalu apa yang
terjadi? Hal-hal yang bisa diwujudkannya adalah ‘apa yang Anda
inginkan’. Bukankah prinsip kepemimpinan itu adalah mendapatkan hasil
melalui kerja orang lain? Anda, telah mendapatkan hasil melalui kerja
orang-orang yang punya otoritas. So, who is the boss then?.
3. Belajar memimpin untuk melayani. Coba
perhatikan, betapa banyak pemimpin yang maunya dilayani oleh anak buah.
Gak aci! Tapi, yang seperti itu banyak sekali. Menjadi pemimpin itu
bukan untuk dilayani, justru untuk melayani orang-orang yang kita
pimpin. Amanah yang Anda emban itu adalah untuk menjadi abdi mereka.
Apalagi jika Anda adalah pemimpin lembaga Negara? Duh, betapa kedudukan
Anda itu diberikan oleh rakyat yang memilih Anda. Nek sampeyan malah
lupa diri itu lha keterlaluan toh Rek. Pemimpin di perusahaan juga sama.
Jika Anda Manager, maka tugas Anda adalah melayani anak buah Anda
supaya mereka bisa menghasilkan kinerja yang sesuai dengan tugas dan
fungsinya. Anda berkewajiban melayani mereka untuk belajar dan
mengembangkan diri. Anda bertugas untuk melayani mereka memenuhi
kebutuhan hidupnya. Dan begitu banyak hal lagi yang wajib Anda tunaikan.
Contohlah para Nabi ketika memimpin umatnya. Mereka melayani loh, bukan
dilayani. Mereka menghibur pengikutnya yang sedih. Mengobati yang
sakit. Meringankan beban yang berat. Kita, sering keliru memilih idola
pemimpin. Sehingga sekarang, kita sering mengira bahwa menjadi pemimpin
itu identik dengan mobil mewah, rumah megah, tongkrongan gagah, dan
pemasukan melimpah. Hey, ingatlah. Para Nabi mencontohkan kita untuk
menjadi pelayan bagi orang-orang yang kita pimpin. Maka jadikanlah
mereka sebagai teladan dalam memimpin.
4. Semuanya berlipat untuk para pemimpin. Orang
mengatakan bahwa segala hal baik menjadi berlipat-lipat bagi para
pemimpin. Gaji, fasilitas, tunjangan, penghargaan. Semuanya berlipat.
Wajar. Karena tanggungjawabnya juga semakin besar. Sekalipun
tanggungjawabnya semakin besar, namun orang jarang gentar untuk menerima
jabatan sebagai pembesar. Bahkan banyak sekali yang mengejar-ngejar.
Padahal, tidak hanya hal baik saja lho yang berlipat. Hal buruk pun
berlipat. Jika seorang pemimpin melakukan kesalahan, maka nilai
pertanggunjawabannya juga lebih besar dibandingkan jika kesalahan itu
dilakukan oleh bawahannya. Hal itu wajar juga kan? Sayangnya, inilah
justru yang sering tidak kita sadari. Ketika mengejar suatu jabatan
tertentu, benak kita sering sudah terlampau penuh dengan bayangan
tentang ‘kenikmatannya’. Enah jadi boss. Ya memang enak. Tapi, mengira
bahwa menjadi boss itu bisa seenaknya? Hmmh, berhati-hatilah. Sebab,
bagi orang-orang yang mengerti, menjadi pemimpin itu adalah sebuah
amanah yang nilai pertanggungjawabannya tidaklah ringan berkali-kali
lipat.
5. Luruskan niat dalam memimpin. Tidak
ada salahnya kok memiliki impian untuk menjadi pemimpin. Sewaktu
bekerja dulu, saya pun sangat berambisi untuk menjadi pemimpin.
Bagaimanapun juga, itu adalah indikasi tentang seberapa mampu saya
membangun karir. Saya percaya bahwa setiap pribadi wajib menjadi dirinya
unggul. Maka menapaki jenjang karir yang tinggi boleh jadi merupakan
salah satu cara menunaikan kewajiban itu. Tetapi, eh ada tetapinya. Kita
perlu memiliki niat yang lurus saat mengejar dan menjalankan fungsi
kepemimpinan itu. Jika niat Anda hanya untuk mengejar uang, maka Anda
bakal dikelilingi nafsu untuk mengeruk sebanyak mungkin uang. Padahal,
pemimpin itu sangat dekat dengan gudang uang. Berbahaya. Jika niat Anda
untuk ‘menunjukkan siapa gua!’, maka Anda akan terjebak kesombongan yang
sama seperti ketika dulu Iblis membangkang Adam. Tetapi, jika Anda
berniat untuk memberikan kontribusi lebih banyak bagi orang lain. Bagi
perusahaan. Bagi masyarakat. Bagi bangsa dan Negara. Maka Anda pun pasti
akan mendapatkan kecukupan materi sesuai hak dan tanggungjawab Anda.
Insya Allah akan dicukupkan dunia Anda. Namun lebih dari itu; Anda –
pasti – memperoleh kecukupan di sisi Tuhan. Tuan dan Nona, siapa lagi
yang akan kita temui setelah kita mati selain Sang Pemilik Diri ini?
Jika Anda yakin atas hari pertemuan denganNya, maka mari kita luruskan
niat dalam mengejar dan menjalankan jabatan kita hanya untuk sesuatu
yang disukai olehNya.
Guru
kehidupan saya mengingatkan bawa hari hisab atau saat perhitungan amal
itu akan menjadi hari yang sangat berat. Bagaimana tidak berat. Ketika
akan melakukan ujian akhir semester saja kita stressnya minta ampun.
Sekarang, kita akan diadili dihadapan Tuhan. Beranikah Anda untuk tidak
deg-degan? ”Namun,” begitu kata guru kehidupan saya; ”Ada beberapa jenis
orang yang akan dimudahkan prosesnya. Diantara mereka yang sedikit itu
adalah para pemimpin yang adil”. Duh, saya pernah mendapat amanah untuk
menjadi pemimpin. Meskipun dalam lingkup yang sangat kecil. Adakah
praktek dan perilaku kepemimpinan yang dulu saya tunaikan itu menjadikan
ringan masa penghisaban saya? Ataukah justru saya termasuk manusia yang
dipersulit dihari pengadilan tertinggi itu karena semasa hidup saya
menyalahgunakan amanah ini? Bagaimana dengan Anda? Mari kita benahi cara
memimpin kita. Mumpung masih ada kesempatan untuk memperbaikinya.
Sekarang.
0 komentar:
Posting Komentar